Tanpa rasa "Rikuh" orang ini melewati jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki. |
Pada era modern saat ini, masyarakat perkotaan memiliki mobilitas yang sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan oleh tingkat kesibukan, pekerjaan, dan rutinitas yang sangat padat. Saat ini, tingkat mobilitas tersebut tidak hanya terjadi pada kota-kota besar di propinsi saja, melainkan sudah mencapai tingkat kabupaten kota.
Mobilitas yang sangat tinggi dari penduduk Indonesia khususnya kota-kota besar, tentunya berdampak terhadap kebutuhan akan sebuah sarana pendukung untuk memperlancar aktifitas mereka seperti sarana transportasi. Dimana sarana ini, dapat mendukung dan memperlancar aktivitas bagi mereka yang memiliki mobilitas yang sangat tinggi dan dimana waktu merupakan hal yang sangat berharga.
Mobilitas yang sangat tinggi dari penduduk Indonesia khususnya kota-kota besar, tentunya berdampak terhadap kebutuhan akan sebuah sarana pendukung untuk memperlancar aktifitas mereka seperti sarana transportasi. Dimana sarana ini, dapat mendukung dan memperlancar aktivitas bagi mereka yang memiliki mobilitas yang sangat tinggi dan dimana waktu merupakan hal yang sangat berharga.
Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, mobilitas yang tinggi acapkali terganggu serta menghadapi kendala, seperti: kemacetan pada jam-jam sibuk (kerja dan sekolah), banyaknya pelanggaran lalu lintas ataupun kendaraan yang ugal-ugalan untuk mengejar waktu. Hal lainnya ialah ketika lambu lalu lintas telah menunjukkan tanda-tanda akan merah, para pe-ngendara bukannya memperlambat tetapi malah mempercepat laju kendaraannya dan bahkan ketika lampu sudah menunjukkan larangan untuk melaju tetapi para pengedara khususnya pengendara roda dua malah melanggarnya.
Disamping itu, masyarakat di kota propinsi, madya dan kabupaten lainnya, lebih sering dan senang memanfaatkan kendaraan bermotor daripada memilih untuk berjalan kaki atau pun menggunakan sepeda ontel guna menuju ke lokasi yang relatif dekat.
Permasalahan umum yang terjadi karena kesadaran yang rendah dari masyarakat terhadap kepatuhan dalam berlalu lintas dan kebiasaan melanggar terhadap hal-hal kecil, kemudian berdampak terhadap budaya negatif yakni budaya melanggar peraturan lalu lintas.
Disamping itu, suasana atau budaya untuk berjalan kaki ataupun memanfaatkan sepeda yang rendah sehingga berdampak juga terhadap rendahnya kesadaran atau kemauan masyarakat secara umum untuk berjalan kaki ataupun memanfaatkan sepeda ontel.
Hal tersebut, tentunya diperparah oleh fasilitas pendukung untuk para pejalan kaki, seperti: trotoar yang bolong-bolong, tidak ada pohon peneduh, serta trotoar yang menjadi tempat berjualan bagi PKL.
Tentunya dari permasalahan yang terjadi di atas telah menimbulkan berbagai masalah khususnya menyangkut permasalahan lalu lintas. Permasalahan tersebut, seperti: 1.) Tingginya angka kecelakaan lalu lintas baik pada persimpangan lampu lalu lintas maupun pada jalan raya; 2.) Keselamatan para pengendara dan para pejalan kaki menjadi terancam; 3.) Kemacetan lalu lintas akibat dari masyarakat yang enggan untuk berjalan kaki atau memanfaatkan sepeda ontel; 4.) Kebiasaan melanggar peraturan lalu lintas yang biasa kemudian men-jadi budaya melanggar peraturan.
Dari permasalahan dan dampak yang ditimbulkan oleh berbagai permasalahan lalu lintas yang terjadi pada kota-kota besar
di Indonesia. Maka dapat diciptakan suatu solusi melalui pendekatan budaya, yakni penanaman budaya “RIKUH” pada masyarakat. Rikuh sendiri dalam bahasa berarti “MALU”.
Acapkali kata rikuh ini ditafsirkan sebagai kemunduran ataupun menjadi kendala orang untuk mencapai kesuksesan. Karena terkadang budaya “RIKUH” atau “MALU” ini, berasosiasi negatif terhadap kemajuan seseorang.
Tetapi jika dilihat dari segi berbeda yakni budaya “RIKUH” diartikan dan diimplementasikan ke dalam hal positif. Yakni rikuh dalam melakukan berbagai pelanggaran dan kebiasaan buruk dalam berlalu lintas serta rikuh jika kemana-mana khususnya menuju lokasi yang dekat menggunakan kendaraan bermotor dan rikuh jika tidak memberi kesempatan menyeberang atau mendahulukan para pejalan kaki.
Penanaman budaya “RIKUH” tersebut dapat dilakukan untuk patuh terhadap peraturan lalu lintas. Menanamkan budaya “RIKUH” bagi masyarakat yang enggan memilih untuk berjalan kaki dan menggunakan sepeda ontel untuk menunjang aktifitas sehari-hari serta menjangkau tujuan yang relatif dekat.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan jalan sosialisasi dan pembuatan slogan tentang manfaat berjalan kaki serta bersepeda bagi diri mereka dan orang lain. Juga dijelaskan dampak penggunaan kendaraan bermotor terhadap global warming. Disamping itu, hal tersebut harus didukung juga oleh para pemangku kepentingan dengan jalan membuat fasilitas pendukung yang nyaman serta diikuti juga oleh tindakan nyata dari pada pemimpin.
Penanaman budaya “RIKUH” bagi para pengendara roda 2 maupun 4, jika tidak memberikan kesempatan bagi penyeberang jalan untuk menyeberang melalui pembuatan dan pemasangan slogan-slogan.
Kondisi lalu lintas yang penuh dengan berbagai permasalahan, kita sadari sebagi hal yang tidak menyenangkan. Kita telah mengetahui bersama terhadap dampak dari kemacetan lalu lintas, budaya melanggar peraturan lalu lintas, enggan untuk berjalan kaki atau bersepeda, serta tidak mendahulukan para pejalan kaki.
Permasalahan tersebut tentunya dapat diselesaikan dengan solusi yang tepat. Solusi di atas dapat dimulai dari diri kita sendiri, yakni dengan menerapkan budaya “RIKUH”, yang dimana hampir sebagian besar orang jawa memahaminya sebagai hal kurang baik terhadap penunjang kemajuan atau kesuksesan.
Tetapi budaya “RIKUH” ini, jika diimplementasikan dan dilihat dari sisi berbeda atau positif, malahan dapat menjadi solusi yang tepat terhadap permasalahan lalu lintas yang tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi juga sampai kota kabupaten.
Sehingga budaya “RIKUH” atau “MALU” ini sangat tepat sebagai solusi terhadap berbagai permasalahan lalu lintas yang ada pada kota-kota besar di Indonesia. (Feby Dwi Sutianto)
Disamping itu, masyarakat di kota propinsi, madya dan kabupaten lainnya, lebih sering dan senang memanfaatkan kendaraan bermotor daripada memilih untuk berjalan kaki atau pun menggunakan sepeda ontel guna menuju ke lokasi yang relatif dekat.
Permasalahan umum yang terjadi karena kesadaran yang rendah dari masyarakat terhadap kepatuhan dalam berlalu lintas dan kebiasaan melanggar terhadap hal-hal kecil, kemudian berdampak terhadap budaya negatif yakni budaya melanggar peraturan lalu lintas.
Disamping itu, suasana atau budaya untuk berjalan kaki ataupun memanfaatkan sepeda yang rendah sehingga berdampak juga terhadap rendahnya kesadaran atau kemauan masyarakat secara umum untuk berjalan kaki ataupun memanfaatkan sepeda ontel.
Hal tersebut, tentunya diperparah oleh fasilitas pendukung untuk para pejalan kaki, seperti: trotoar yang bolong-bolong, tidak ada pohon peneduh, serta trotoar yang menjadi tempat berjualan bagi PKL.
Tentunya dari permasalahan yang terjadi di atas telah menimbulkan berbagai masalah khususnya menyangkut permasalahan lalu lintas. Permasalahan tersebut, seperti: 1.) Tingginya angka kecelakaan lalu lintas baik pada persimpangan lampu lalu lintas maupun pada jalan raya; 2.) Keselamatan para pengendara dan para pejalan kaki menjadi terancam; 3.) Kemacetan lalu lintas akibat dari masyarakat yang enggan untuk berjalan kaki atau memanfaatkan sepeda ontel; 4.) Kebiasaan melanggar peraturan lalu lintas yang biasa kemudian men-jadi budaya melanggar peraturan.
Dari permasalahan dan dampak yang ditimbulkan oleh berbagai permasalahan lalu lintas yang terjadi pada kota-kota besar
di Indonesia. Maka dapat diciptakan suatu solusi melalui pendekatan budaya, yakni penanaman budaya “RIKUH” pada masyarakat. Rikuh sendiri dalam bahasa berarti “MALU”.
Acapkali kata rikuh ini ditafsirkan sebagai kemunduran ataupun menjadi kendala orang untuk mencapai kesuksesan. Karena terkadang budaya “RIKUH” atau “MALU” ini, berasosiasi negatif terhadap kemajuan seseorang.
Tetapi jika dilihat dari segi berbeda yakni budaya “RIKUH” diartikan dan diimplementasikan ke dalam hal positif. Yakni rikuh dalam melakukan berbagai pelanggaran dan kebiasaan buruk dalam berlalu lintas serta rikuh jika kemana-mana khususnya menuju lokasi yang dekat menggunakan kendaraan bermotor dan rikuh jika tidak memberi kesempatan menyeberang atau mendahulukan para pejalan kaki.
Penanaman budaya “RIKUH” tersebut dapat dilakukan untuk patuh terhadap peraturan lalu lintas. Menanamkan budaya “RIKUH” bagi masyarakat yang enggan memilih untuk berjalan kaki dan menggunakan sepeda ontel untuk menunjang aktifitas sehari-hari serta menjangkau tujuan yang relatif dekat.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan jalan sosialisasi dan pembuatan slogan tentang manfaat berjalan kaki serta bersepeda bagi diri mereka dan orang lain. Juga dijelaskan dampak penggunaan kendaraan bermotor terhadap global warming. Disamping itu, hal tersebut harus didukung juga oleh para pemangku kepentingan dengan jalan membuat fasilitas pendukung yang nyaman serta diikuti juga oleh tindakan nyata dari pada pemimpin.
Penanaman budaya “RIKUH” bagi para pengendara roda 2 maupun 4, jika tidak memberikan kesempatan bagi penyeberang jalan untuk menyeberang melalui pembuatan dan pemasangan slogan-slogan.
Kondisi lalu lintas yang penuh dengan berbagai permasalahan, kita sadari sebagi hal yang tidak menyenangkan. Kita telah mengetahui bersama terhadap dampak dari kemacetan lalu lintas, budaya melanggar peraturan lalu lintas, enggan untuk berjalan kaki atau bersepeda, serta tidak mendahulukan para pejalan kaki.
Permasalahan tersebut tentunya dapat diselesaikan dengan solusi yang tepat. Solusi di atas dapat dimulai dari diri kita sendiri, yakni dengan menerapkan budaya “RIKUH”, yang dimana hampir sebagian besar orang jawa memahaminya sebagai hal kurang baik terhadap penunjang kemajuan atau kesuksesan.
Tetapi budaya “RIKUH” ini, jika diimplementasikan dan dilihat dari sisi berbeda atau positif, malahan dapat menjadi solusi yang tepat terhadap permasalahan lalu lintas yang tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi juga sampai kota kabupaten.
Sehingga budaya “RIKUH” atau “MALU” ini sangat tepat sebagai solusi terhadap berbagai permasalahan lalu lintas yang ada pada kota-kota besar di Indonesia. (Feby Dwi Sutianto)
0 comments:
Posting Komentar